BAB 1
“Hoaahhhhh……..mmmmmhhh “
Lily membuka mata dan melihat sekelilingnya. Dia
terbaring diatas tempat tidur. Berarti dia baru saja bangun dari tidur. Berarti tadi itu…….. mimpi.
“Anggita Pramudya. Siapa dia?” Lily berusaha mengingat
jika ada nama teman atau kenalan yang bernama itu.
“Kok aku masih inget namanya ya? Biasanya klo mimpi
nama orang yang nggak kenal, nggak ke inget waktu bangun.”
“Ah paling cuma mimpi nggak penting. Tadi kan ibu ada
tamu trus ngobrol masalah betulin rumah sama aku yang belum kawin.”
Lily melihat ke arah jam yang menunjukkan angka 9. Benar,
tadi sekitar jam 7 dia sudah terbangun sebentar dan mendengar percakapan ibunya
dengan tamu yang sepertinya bekas tetangga dulu. Lily mendengar dengan jelas
bahwa ibunya mengeluh tentang rumah yang masih belum rapi dan Lily yang masih
belum menikah.
“Pasti mimpi tadi itu gara-gara aku denger obrolan ibu
tadi. Udahlah nggak penting.”
Lily bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Dilihatnya
kamar yang berantakan, dinding rumah yang belum diplester, dan atap yang belum dipasang
eternit.
“Emang rumah belum jadi. Huuh..” Lily sedih melihat
keadaan rumahnya yang memang belum selesai dan entah kapan akan selesai karena
mereka tidak memiliki dana.
“Lagian ngapain sih ibu tuh cerita sana-sini masalah
rumah yang belum jadi sama aku yang belum kawin? Akunya aja santai, kok ibu
yang ribet?”
Lily menggerutu mengingat ibunya yang selalu mengeluh
tentang dia yang masih belum juga menikah di usia yang sudah menginjak kepala
tiga. Ibunya sering sekali meminta dicarikan jodoh untuk Lily pada
teman-temannya.
“Kalau memang Anggita itu ada….., pasti semuanya beres. Ibu akan diam,”
pikir Lily.
Saat nama itu tersebut lagi, Lily kembali mengingat
mimpinya tadi.
“Tadi kan temen SMP ato SMA ya? ….” Lily berusaha
mengingat.
“Ah.. kayaknya nggak ada yang namanya Anggita.” Lily kembali berpikir dan berpikir.
“Tadi kan mau liat buku kenangan ya? Coba ah.”
Lily segera bangun dari duduknya dan mencari buku
kenangan sekolahnya. Yang pertama kali dia temukan adalah buku kenangan SMP.
Dibukanya buku itu dengan hati dag dig dug, penuh
pengharapan. Saat memasuki data siswa, dilihatnya wajah-wajah yang masih culun.
Wajah-wajah yang memperlihatkan remaja yang masih belum berkutat dengan
beratnya dunia. Lily pun tersenyum.
Namun dia sadar bahwa sekarang bukan saatnya menilai
kepribadian dari sebuah foto. Dia memiliki tujuan lain yang lebih penting.
Mencari anak yang bernama Anggita Pramudya.
Satu per satu halaman dibukanya. Diperhatikan semua
nama, termasuk kemungkinan adanya nama tambahan diawal, ditengah, atau diakhir.
“Siapa tahu namanya lebih panjang.”
Sudah empat kelas dan 160 nama anak dilaluinya. Nama
itu tidak ada, bahkan yang hanya sekedar mirip pun tidak ada. Namun, masih ada
enam kelas tersisa.
“Huhh…masih panjang perjuangan.”
Sampailah dia pada kelas E yang merupakan kelas dia
dahulu.
“Aku yakin pasti nggak ada dia. Kan tiga tahun nggak
diacak kelasnya. Nggak ada kok yang nama itu.”
Walaupun yakin, Lily tetap membuka halaman demi halaman
di bagian kelasnya itu.
“Wah… ini si Adit yang pengen jadi Presiden. Gimana dia
sekarang ya?”
“Wah.. ini Devi. Dimana dia sekarang? Kangen nih?”
“Ya ampun.. jelek banget sih aku waktu masih SMP dulu.”
Lily tersenyum mengingat berbagai kenangan saat SMP
dulu. Karena kelasnya tidak diacak, dia cukup dekat dengan teman-temannya.
Mereka semua orang baik.
Akhirnya selesailah bagian kelas E. Keyakinan Lily
terbukti karena tidak ada nama Anggita pramudya dalam kelas itu. Ia pun
melanjutkan pencariannya.
Kelas F dan kelas G dilaluinya tanpa hasil. Harapannya
mulai luntur dan semakin yakin bahwa mimpinya itu memang hanya bunga tidur.
Namun, semuanya berbalik saat ia membuka halaman
pertama di kelas H.
Tidak kurang, tidak lebih. ANGGITA PRAMUDYA, nama itu
terpampang jelas bersama sebuah foto.
Lily termenung selama beberapa detik. Diperhatikannya
foto seorang remaja lelaki yang kurus dan culun. Tidak ada ingatan apapun pada
sosok orang yang berada di foto itu. Lily kembali berusaha mengingat, tetapi
tetap saja dia tidak mengenal anak itu.
Dibacanya keterangan lain yang terdapat pada foto itu.
Sekali lagi Lily terkejut saat melihat alamat Anggita.
“Rumahnya di Kalasan?”
Mata Lily terbelalak. Dia tidak bisa percaya dengan apa
yang dilihatnya.
“Kok bisa sih?”
“Emang dia siapa sih?”
Lily semakin bingung saja saat melihat ada tanda
contreng berwarna biru di foto itu.
“Kalau ditandain berarti aku kenal dong? Tapi siapa?”
Lily teringat bahwa dia pernah melihat tanda seperti
itu di halaman sebelumnya. Dibukanya kembali halaman-halaman tadi dan
ditemukannya beberapa anak memiliki tanda yang sama.
“Apa artinya?”
Setelah diperhatikannya baik-baik dan diingatnya
anak-anak yang diberi tanda itu, Lily terkejut untuk kesekian kalinya.
“Ini kan anak-anak yang masuk SMA 8. Berarti Anggita
itu…”
Lily segera mengambil buku kenangan SMAnya. Tanpa harus
menunggu lama, ditemukannya nama itu di halaman pertama data kelas 3-IPA-1.
“Astaga…..”
“Apa ini?”
“Apa mimpi itu petunjuk dari Tuhan?”
Lily semakin bingung. Seberapapun kerasnya dia
berusaha, tetap saja dia tidak bisa mengingat siapa Anggita Pramudya itu.
Dalam kebingungannya, dia mendapatkan ide.
“Sekarang kan jaman internet. Buka sosmed kali.”
Lily memang bukan cewek gaul, tetapi dia masih punya
akun sosial media, walau hanya satu.
Segera dinyalakan laptopnya. Setelah membuka akunnya,
diketiknya nama Anggita Pramudya dan langsung mendapatkan hasil.
“Ini dia, ada empat teman yang sama. Anak SMA 8 semua.
Oke.”
Lily bersemangat mendapatkan akun yang dia cari. Dibukanya akun
tersebut dan diperhatikannya baik-baik semua keterangan yang ada.
“Yahh….nggak ada apa-apanya. Cuma ada nama, gender,
sama tanggal lahir. Itu juga aku udah tahu.”
“Coba liat komennya… hmmm….”
Lily memperhatikan komentar-komentar yang ada di
beranda dan kembali terkejut.
“Panggilannya Pampam?”
“Emang nggak ada yang lebih keren gitu, yang lebih
maskulin?”
“Astaga……”
Lily memegang kedua pipinya sambil terus tidak percaya
mengetahui nama panggilan Anggita yang…
Walaupun merasa kesal, aneh, dan hal lain yang tidak
bisa digambarkannya saat mengetahui nama panggilan Anggita, Lily kembali
meneruskan pencariannya.
“Oh… jadi dia kerja di Surabaya…. Kerja apa ya? Nggak
ada keterangan nih.” Lily mengerutu.
“Hmmm… kayaknya dia udah nggak aktif lama deh.. Iya
nih.. cuma temen-temennya aja yang nyapa.
“Komen terakhir dia tahun 2011.”
“Berarti udah dua tahun yang lalu dong. Huuuhhh…”
Lily kecewa mendapatkan akun yang sudah tidak aktif
lagi. Tapi dia belum mau menyerah. Dia masih ingin mendapatkan lebih banyak
informasi tentang lelaki itu.
Dibukanya koleksi foto dan melihat beberapa foto yang
diunggah.
“Ehmmm…. Kok aku tetep nggak inget dia ya?”
“Siapa sih kamu? Kita ketemu dimana sih?”
Di pukulnya kepalanya sendiri sambil berkata, “Dasar
Lily oon, ya ketemu di sekolah lah…” Lily memarahi dirinya sendiri.
“Tapi siapa sih? Kok aku nggak punya memori sama sekali
sih sama wajah ini?.....”
“Hhaaaaahhhhhh
sebeeelll.”
Lily benar-benar jengkel karena tidak bisa mengingat
tentang Anggita sama sekali. Tidak sedikit pun. Tidak di kelas, tidak di
ekskul.
“Trus kenapa juga orangnya kayak gini?”
“Bukannya lebih muda setahun dari aku? Kok kayak
bapak-bapak gini sih?”
Lily memperhatikan beberapa foto yang memperlihatkan
Anggita sedang bersama teman-temannya. Dalam foto itu Anggita berpakaian
kasual, tetapi Lily merasa tampilannya seperti lelaki yang sudah…
“Jangan-jangan dia udah nikah… punya anak lagi…”
Muncul kekhawatiran dalam benak Lily. Jika Anggita
ternyata sudah menikah, berarti harapannya sia-sia.
Dilihatnya semua foto yang ada.
“Nggak ada foto
perempuan, anak kecil juga nggak ada. Di bagian data juga nggak ada keterangan
hubungan.”
Ada sedikit perasaan lega saat dia tidak menemukan
bukti pernikahan atau bahkan hubungan dengan wanita.
“Tapi itukan dua tahun lalu… Dalam dua tahun bisa
terjadi banyak hal…”
Lily menarik nafas panjang. “Hhhh…..” Kembali
dilihatnya foto-foto dengan lebih seksama.
“Huuuuhhhh… kok kamu kayak gini sih? Masa aku mau jodoh
sama laki-laki kayak gini?” Lily kesal melihat foto Anggita yang sedang
merokok. Lily memang tidak suka dengan perokok karena dianggapnya sebagai
kegiatan membakar uang.
“Ya ampun… kok nggak ada foto yg ganteng sih?”
“Nggak haruslah kayak Ji Hu Oppa. Aku juga tau diri.
Aku enggak cantik.”
“Tapi…. Setidaknya ada foto yang enak diliat gitu.
Ihhh… cowok macem apa sih kamu?” Lily mengacak-acak rambutnya sendiri.
Lily tidak mengerti mengapa dia tidak menyukai wajah
Anggita. Sebenarnya, Anggita tidak jelek. Badannya memang tidak sporty, tetapi
Lily bahkan lebih gemuk sehingga dia tau diri bahwa dia tidak berhak
menjelekkan orang karena badannya. Anggita juga tidak memiliki cacat di wajah
maupun tubuhnya.
Biasanya Lily tidak suka mempermasalahkan wajah lelaki.
Beberapa lelaki yang dikenalkan ibunya juga tidak tampan, tetapi Lily tidak
mempermasalahkan wajah mereka. Lily hanya tidak suka dengan gaya mereka yang tidak gagah dan terkesan lemah.
Tetapi Anggita…. Mengapa Lily benci melihat wajahnya?
Padahal dari foto yang terpampang, gayanya lumayan laki.
“Kenapa?”
“Kalau
memang kamu yang ditetapkan Tuhan buat aku, kenapa aku benci liat kamu?”
***
“Hhhh….. Capeknya”. Anggita menjatuhkan diri di atas
sofa.
“Kasian anak Ibu, capek ya… Nih minum dulu” Bu Anggi,
ibunya Anggita menyodorkan air minum pada anaknya.
“Iya capek banget.”
Anggita menerima gelas yang disodorkan dan meminum isinya.
“OOhhhh… walaupun cuma air
putih, kalau disiapin dengan cinta emang beda.” Anggita mengerlingkan mata pada
ibunya yang tersenyum bahagia melihatnya.
“Tapi perjalanannya lancar kan?”
“Alhamdulillah. Untungnya pesawatnya nggak delay.”
“Ya udah. Pam istirahat dulu. Kamar Pam udah Ibu
beresin sama Kiki kemaren. Barang-barang yang dikirimin kemaren juga udah ibu
bongkar, terus Ibu tata sebisanya. Mudah-mudahan Pam suka. Kalau nggak, bilang
aja. Nanti Ibu pindahin sesuai order.”
Anggita tersenyum lebar. “Siiiippppp. Makasih ya ibuku yang
cantik. Tenang aja. Nanti kalau ada yang kurang, Pam beresin sendiri.” Kata Anggita sambil mencium pipi ibunya.
“Eh nggak boleh. Kamu itu nggak boleh capek, nggak
boleh kerja yang berat. Urusan beres-beres, bilang sama Ibu, Bapak, ato Kiki.”
Bu Anggi menatap tajam anaknya sambil
menggerakkan telunjuknya.
“Oke..oke boss.” Anggita mengangguk. Dia tahu bahwa
melawan ibunya adalah hal yang mustahil.
Anggita melihat sekeliling ruangan. “Ya udah, Pam naik
dulu ya Bu. Mau inspeksi.” Anggita tersenyum sambil berdiri dari duduknya.
“Iya.. “
Anggita melangkahkan kaki ke lantai atas, menuju
kamarnya. Saat dibukanya pintu kamar, terlihatlah kamar yang sudah lebih dari
tujuh tahun ditinggalkannya.
Tidak banyak perubahan pada kamarnya. Penataannya masih
sama seperti dulu. Tempat tidur, meja belajar, lemari, meja gambar, bahkan
poster-posternya masih terpasang ditempat yang sama. Ibunya benar-benar merawat
kamarnya. Hanya beberapa barang yang dibawanya dari Surabaya saja yang membuat
perubahan.
Baru beberapa saat Anggita melihat-lihat kamarnya,
terdengar suara kaki berlari yang semakin mendekat.
“Mas Pam… “ Kiki, adik Anggita berlari memasuki kamar
dan langsung memeluk kakaknya.
“Maaf ya Kiki nggak bisa ikut jemput. Tadi harus ketemu
dosen pembimbing. Orangnya sibuk banget, jadi kalau ada waktu harus bisa
ketemu.”
“Belum selesai juga tuh skripsi?” Anggita melepaskan
pelukan adiknya.
“Harusnya udah, tapi ada aja revisinya.” Kiki merengut.
“Kamunya sih nggak serius. Main aja sukanya.”
“Iiiihh… baru dateng udah marah-marah aja. Cepet tua
tauu…”
“Bukannya kamu kangen dimarahin ya?” Anggita tertawa.
“Harusnya Mas Pam tu bilang gini, nggak papa adikku
sayang, yang penting kamu tetep usaha. Gituuuu.” Kiki menggerutu.
“Iya.. iya.. Sini” Anggita menarik adiknya ke dalam
pelukannya.
“Nggak papa adikku sayang…. Yang penting kamu nggak di
DO”.
“Ya… Mas Pam. Belakangnya itu lho nggak enak.” Kiki
protes sambil melepaskan pelukan kakaknya.
“Habis kamu umur 25 masih belum lulus S1. Nunggu di
DO?”
“Iya… ini bentar lagi juga lulus. Tinggal revisi
dikit.” Jawab Kiki dengan tetap cemberut.
“Ini apaan sih… baru ketemu udah berantem aja?” Bu Anggi tiba-tiba muncul di depan
pintu kamar Anggita.
“Ini lho Bu, Mas Pam marahin Kiki.”
“Ngadu deeeh.”
“Udah.. udah… Mas kamu itu baru aja pulang, masih
capek. Biar dia istirahat dulu.” Bu Anggi mengajak Kiki pergi meninggalkan Anggita
sendiri.
Anggita tersenyum. Dia sangat merindukan saat-saat
seperti ini. Berantem dengan adiknya yang suka mengadu dan ibunya yang selalu
melerai mereka.
Awalnya,
dia sedikit takut saat harus meninggalkan Surabaya. Meninggalkan kesuksesannya.
Tapi, merasakan kehangatan rumah membuat ketakutannya hilang. Walaupun dia
masih belum tahu apa yang akan dihadapinya nanti, Anggita yakin jika pilihannya
tidak salah. Pasti ada sesuatu yang baik yang menunggunya di kota kelahirannya
ini.
______________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar