Senin, 14 September 2015

Kenapa Kamu? - Bab 1

BAB 1
 


“Hoaahhhhh……..mmmmmhhh “

Lily membuka mata dan melihat sekelilingnya. Dia terbaring diatas tempat tidur. Berarti dia baru saja bangun dari tidur. Berarti tadi itu…….. mimpi.

“Anggita Pramudya. Siapa dia?” Lily berusaha mengingat jika ada nama teman atau kenalan yang bernama itu.

“Kok aku masih inget namanya ya? Biasanya klo mimpi nama orang yang nggak kenal, nggak ke inget waktu bangun.”

“Ah paling cuma mimpi nggak penting. Tadi kan ibu ada tamu trus ngobrol masalah betulin rumah sama aku yang belum kawin.” 

Lily melihat ke arah jam yang menunjukkan angka 9. Benar, tadi sekitar jam 7 dia sudah terbangun sebentar dan mendengar percakapan ibunya dengan tamu yang sepertinya bekas tetangga dulu. Lily mendengar dengan jelas bahwa ibunya mengeluh tentang rumah yang masih belum rapi dan Lily yang masih belum menikah.

“Pasti mimpi tadi itu gara-gara aku denger obrolan ibu tadi. Udahlah nggak penting.”

Lily bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Dilihatnya kamar yang berantakan, dinding rumah yang belum diplester, dan atap yang belum dipasang eternit.

“Emang rumah belum jadi. Huuh..” Lily sedih melihat keadaan rumahnya yang memang belum selesai dan entah kapan akan selesai karena mereka tidak memiliki dana.

“Lagian ngapain sih ibu tuh cerita sana-sini masalah rumah yang belum jadi sama aku yang belum kawin? Akunya aja santai, kok ibu yang ribet?”

Lily menggerutu mengingat ibunya yang selalu mengeluh tentang dia yang masih belum juga menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga. Ibunya sering sekali meminta dicarikan jodoh untuk Lily pada teman-temannya.

“Kalau memang Anggita itu ada….., pasti semuanya beres. Ibu akan diam,” pikir Lily.

Saat nama itu tersebut lagi, Lily kembali mengingat mimpinya tadi.

“Tadi kan temen SMP ato SMA ya? ….” Lily berusaha mengingat.

“Ah.. kayaknya nggak ada yang namanya Anggita.” Lily kembali berpikir dan berpikir.

“Tadi kan mau liat buku kenangan ya? Coba ah.”

Lily segera bangun dari duduknya dan mencari buku kenangan sekolahnya. Yang pertama kali dia temukan adalah buku kenangan SMP.

Dibukanya buku itu dengan hati dag dig dug, penuh pengharapan. Saat memasuki data siswa, dilihatnya wajah-wajah yang masih culun. Wajah-wajah yang memperlihatkan remaja yang masih belum berkutat dengan beratnya dunia. Lily pun tersenyum.

Namun dia sadar bahwa sekarang bukan saatnya menilai kepribadian dari sebuah foto. Dia memiliki tujuan lain yang lebih penting. Mencari anak yang bernama Anggita Pramudya.

Satu per satu halaman dibukanya. Diperhatikan semua nama, termasuk kemungkinan adanya nama tambahan diawal, ditengah, atau diakhir.

“Siapa tahu namanya lebih panjang.”

Sudah empat kelas dan 160 nama anak dilaluinya. Nama itu tidak ada, bahkan yang hanya sekedar mirip pun tidak ada. Namun, masih ada enam kelas tersisa.

“Huhh…masih panjang perjuangan.”

Sampailah dia pada kelas E yang merupakan kelas dia dahulu.

“Aku yakin pasti nggak ada dia. Kan tiga tahun nggak diacak kelasnya. Nggak ada kok yang nama itu.”

Walaupun yakin, Lily tetap membuka halaman demi halaman di bagian kelasnya itu.

“Wah… ini si Adit yang pengen jadi Presiden. Gimana dia sekarang ya?”

“Wah.. ini Devi. Dimana dia sekarang? Kangen nih?”

“Ya ampun.. jelek banget sih aku waktu masih SMP dulu.”

Lily tersenyum mengingat berbagai kenangan saat SMP dulu. Karena kelasnya tidak diacak, dia cukup dekat dengan teman-temannya. Mereka semua orang baik.

Akhirnya selesailah bagian kelas E. Keyakinan Lily terbukti karena tidak ada nama Anggita pramudya dalam kelas itu. Ia pun melanjutkan pencariannya.

Kelas F dan kelas G dilaluinya tanpa hasil. Harapannya mulai luntur dan semakin yakin bahwa mimpinya itu memang hanya bunga tidur.

Namun, semuanya berbalik saat ia membuka halaman pertama di kelas H.

Tidak kurang, tidak lebih. ANGGITA PRAMUDYA, nama itu terpampang jelas bersama sebuah foto.

Lily termenung selama beberapa detik. Diperhatikannya foto seorang remaja lelaki yang kurus dan culun. Tidak ada ingatan apapun pada sosok orang yang berada di foto itu. Lily kembali berusaha mengingat, tetapi tetap saja dia tidak mengenal anak itu.

Dibacanya keterangan lain yang terdapat pada foto itu. Sekali lagi Lily terkejut saat melihat alamat Anggita.

“Rumahnya di Kalasan?”

Mata Lily terbelalak. Dia tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kok bisa sih?”

“Emang dia siapa sih?”

Lily semakin bingung saja saat melihat ada tanda contreng berwarna biru di foto itu.

“Kalau ditandain berarti aku kenal dong? Tapi siapa?”

Lily teringat bahwa dia pernah melihat tanda seperti itu di halaman sebelumnya. Dibukanya kembali halaman-halaman tadi dan ditemukannya beberapa anak memiliki tanda yang sama.

“Apa artinya?”

Setelah diperhatikannya baik-baik dan diingatnya anak-anak yang diberi tanda itu, Lily terkejut untuk kesekian kalinya.

“Ini kan anak-anak yang masuk SMA 8. Berarti Anggita itu…”

Lily segera mengambil buku kenangan SMAnya. Tanpa harus menunggu lama, ditemukannya nama itu di halaman pertama data kelas 3-IPA-1.

“Astaga…..”

“Apa ini?”

“Apa mimpi itu petunjuk dari Tuhan?”

Lily semakin bingung. Seberapapun kerasnya dia berusaha, tetap saja dia tidak bisa mengingat siapa Anggita Pramudya itu.

Dalam kebingungannya, dia mendapatkan ide.

“Sekarang kan jaman internet. Buka sosmed kali.”

Lily memang bukan cewek gaul, tetapi dia masih punya akun sosial media, walau hanya satu.

Segera dinyalakan laptopnya. Setelah membuka akunnya, diketiknya nama Anggita Pramudya dan langsung mendapatkan hasil.

“Ini dia, ada empat teman yang sama. Anak SMA 8 semua. Oke.”

Lily bersemangat mendapatkan akun yang dia cari.  Dibukanya akun tersebut dan diperhatikannya baik-baik semua keterangan yang ada.

“Yahh….nggak ada apa-apanya. Cuma ada nama, gender, sama tanggal lahir. Itu juga aku udah tahu.”

“Coba liat komennya… hmmm….”

Lily memperhatikan komentar-komentar yang ada di beranda dan kembali terkejut.

“Panggilannya Pampam?”

“Emang nggak ada yang lebih keren gitu, yang lebih maskulin?”

“Astaga……”

Lily memegang kedua pipinya sambil terus tidak percaya mengetahui nama panggilan Anggita yang…

Walaupun merasa kesal, aneh, dan hal lain yang tidak bisa digambarkannya saat mengetahui nama panggilan Anggita, Lily kembali meneruskan pencariannya.

“Oh… jadi dia kerja di Surabaya…. Kerja apa ya? Nggak ada keterangan nih.” Lily mengerutu.

“Hmmm… kayaknya dia udah nggak aktif lama deh.. Iya nih.. cuma temen-temennya aja yang nyapa.

“Komen terakhir dia tahun 2011.”

“Berarti udah dua tahun yang lalu dong. Huuuhhh…”

Lily kecewa mendapatkan akun yang sudah tidak aktif lagi. Tapi dia belum mau menyerah. Dia masih ingin mendapatkan lebih banyak informasi tentang lelaki itu.

Dibukanya koleksi foto dan melihat beberapa foto yang diunggah.

“Ehmmm…. Kok aku tetep nggak inget dia ya?”

“Siapa sih kamu? Kita ketemu dimana sih?”

Di pukulnya kepalanya sendiri sambil berkata, “Dasar Lily oon, ya ketemu di sekolah lah…” Lily memarahi dirinya sendiri.

“Tapi siapa sih? Kok aku nggak punya memori sama sekali sih sama wajah ini?.....

Hhaaaaahhhhhh sebeeelll.”

Lily benar-benar jengkel karena tidak bisa mengingat tentang Anggita sama sekali. Tidak sedikit pun. Tidak di kelas, tidak di ekskul.

“Trus kenapa juga orangnya kayak gini?”

“Bukannya lebih muda setahun dari aku? Kok kayak bapak-bapak gini sih?”

Lily memperhatikan beberapa foto yang memperlihatkan Anggita sedang bersama teman-temannya. Dalam foto itu Anggita berpakaian kasual, tetapi Lily merasa tampilannya seperti lelaki yang sudah…

“Jangan-jangan dia udah nikah… punya anak lagi…”

Muncul kekhawatiran dalam benak Lily. Jika Anggita ternyata sudah menikah, berarti harapannya sia-sia.

Dilihatnya semua foto yang ada.

 “Nggak ada foto perempuan, anak kecil juga nggak ada. Di bagian data juga nggak ada keterangan hubungan.”

Ada sedikit perasaan lega saat dia tidak menemukan bukti pernikahan atau bahkan hubungan dengan wanita.

“Tapi itukan dua tahun lalu… Dalam dua tahun bisa terjadi banyak hal…”

Lily menarik nafas panjang. “Hhhh…..” Kembali dilihatnya foto-foto dengan lebih seksama.

“Huuuuhhhh… kok kamu kayak gini sih? Masa aku mau jodoh sama laki-laki kayak gini?” Lily kesal melihat foto Anggita yang sedang merokok. Lily memang tidak suka dengan perokok karena dianggapnya sebagai kegiatan membakar uang.

“Ya ampun… kok nggak ada foto yg ganteng sih?”

“Nggak haruslah kayak Ji Hu Oppa. Aku juga tau diri. Aku enggak cantik.”

“Tapi…. Setidaknya ada foto yang enak diliat gitu. Ihhh… cowok macem apa sih kamu?” Lily mengacak-acak rambutnya sendiri.

Lily tidak mengerti mengapa dia tidak menyukai wajah Anggita. Sebenarnya, Anggita tidak jelek. Badannya memang tidak sporty, tetapi Lily bahkan lebih gemuk sehingga dia tau diri bahwa dia tidak berhak menjelekkan orang karena badannya. Anggita juga tidak memiliki cacat di wajah maupun tubuhnya.

Biasanya Lily tidak suka mempermasalahkan wajah lelaki. Beberapa lelaki yang dikenalkan ibunya juga tidak tampan, tetapi Lily tidak mempermasalahkan wajah mereka. Lily hanya tidak suka dengan gaya mereka yang tidak gagah dan terkesan lemah.

Tetapi Anggita…. Mengapa Lily benci melihat wajahnya? Padahal dari foto yang terpampang, gayanya lumayan laki.

“Kenapa?”

“Kalau memang kamu yang ditetapkan Tuhan buat aku, kenapa aku benci liat kamu?”

***

“Hhhh….. Capeknya”. Anggita menjatuhkan diri di atas sofa.

“Kasian anak Ibu, capek ya… Nih minum dulu” Bu Anggi, ibunya Anggita menyodorkan air minum pada anaknya.

Iya capek banget.” Anggita menerima gelas yang disodorkan dan meminum isinya.

“OOhhhh… walaupun cuma air putih, kalau disiapin dengan cinta emang beda.” Anggita mengerlingkan mata pada ibunya yang tersenyum bahagia melihatnya.  

“Tapi perjalanannya lancar kan?”

“Alhamdulillah. Untungnya pesawatnya nggak delay.”

“Ya udah. Pam istirahat dulu. Kamar Pam udah Ibu beresin sama Kiki kemaren. Barang-barang yang dikirimin kemaren juga udah ibu bongkar, terus Ibu tata sebisanya. Mudah-mudahan Pam suka. Kalau nggak, bilang aja. Nanti Ibu pindahin sesuai order.”

Anggita tersenyum lebar. “Siiiippppp. Makasih ya ibuku yang cantik. Tenang aja. Nanti kalau ada yang kurang, Pam beresin sendiri.” Kata Anggita sambil mencium pipi ibunya.

“Eh nggak boleh. Kamu itu nggak boleh capek, nggak boleh kerja yang berat. Urusan beres-beres, bilang sama Ibu, Bapak, ato Kiki.” Bu Anggi menatap tajam anaknya sambil menggerakkan telunjuknya.

“Oke..oke boss.” Anggita mengangguk. Dia tahu bahwa melawan ibunya adalah hal yang mustahil.

Anggita melihat sekeliling ruangan. “Ya udah, Pam naik dulu ya Bu. Mau inspeksi.” Anggita tersenyum sambil berdiri dari duduknya.

“Iya.. “

Anggita melangkahkan kaki ke lantai atas, menuju kamarnya. Saat dibukanya pintu kamar, terlihatlah kamar yang sudah lebih dari tujuh tahun ditinggalkannya.

Tidak banyak perubahan pada kamarnya. Penataannya masih sama seperti dulu. Tempat tidur, meja belajar, lemari, meja gambar, bahkan poster-posternya masih terpasang ditempat yang sama. Ibunya benar-benar merawat kamarnya. Hanya beberapa barang yang dibawanya dari Surabaya saja yang membuat perubahan.

Baru beberapa saat Anggita melihat-lihat kamarnya, terdengar suara kaki berlari yang semakin mendekat.

“Mas Pam… “ Kiki, adik Anggita berlari memasuki kamar dan langsung memeluk kakaknya.

“Maaf ya Kiki nggak bisa ikut jemput. Tadi harus ketemu dosen pembimbing. Orangnya sibuk banget, jadi kalau ada waktu harus bisa ketemu.”

“Belum selesai juga tuh skripsi?” Anggita melepaskan pelukan adiknya.

“Harusnya udah, tapi ada aja revisinya.” Kiki merengut.

“Kamunya sih nggak serius. Main aja sukanya.”

“Iiiihh… baru dateng udah marah-marah aja. Cepet tua tauu…”

“Bukannya kamu kangen dimarahin ya?” Anggita tertawa.

“Harusnya Mas Pam tu bilang gini, nggak papa adikku sayang, yang penting kamu tetep usaha. Gituuuu.” Kiki menggerutu.

“Iya.. iya.. Sini” Anggita menarik adiknya ke dalam pelukannya.

“Nggak papa adikku sayang…. Yang penting kamu nggak di DO”.

“Ya… Mas Pam. Belakangnya itu lho nggak enak.” Kiki protes sambil melepaskan pelukan kakaknya.

“Habis kamu umur 25 masih belum lulus S1. Nunggu di DO?”

“Iya… ini bentar lagi juga lulus. Tinggal revisi dikit.” Jawab Kiki dengan tetap cemberut.

“Ini apaan sih… baru ketemu udah berantem aja?” Bu Anggi tiba-tiba muncul di depan pintu kamar Anggita.

“Ini lho Bu, Mas Pam marahin Kiki.”

“Ngadu deeeh.”

“Udah.. udah… Mas kamu itu baru aja pulang, masih capek. Biar dia istirahat dulu.” Bu Anggi mengajak Kiki pergi meninggalkan Anggita sendiri.

Anggita tersenyum. Dia sangat merindukan saat-saat seperti ini. Berantem dengan adiknya yang suka mengadu dan ibunya yang selalu melerai mereka.

Awalnya, dia sedikit takut saat harus meninggalkan Surabaya. Meninggalkan kesuksesannya. Tapi, merasakan kehangatan rumah membuat ketakutannya hilang. Walaupun dia masih belum tahu apa yang akan dihadapinya nanti, Anggita yakin jika pilihannya tidak salah. Pasti ada sesuatu yang baik yang menunggunya di kota kelahirannya ini. 

______________________________________________________

Prolog <<                                                     >>Bab 2 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar